Ku kira aku bisa sekuat yang ku katakan, tapi nyatanya tetap saja air mataku menetes lagi saat ku lihat diam-diam kamu menunjukan kemesraanmu dengan dia di jejaring sosial mu. Seketika aku ingat, kamu tak seperti itunya saat bersamaku, sangat berbeda dengan dia. Mungkinkah kamu sudah jatuh cinta setengah mati padanya? Atau sudah rindu setengah mati?
Ah, mengapa kamu tak bisa bersikap seperti itu saat masih bersamaku. Hanya bualan dan bualan. Kamu tak pernah benar-benar mencintaiku, tak pernah sedikitpun. Hanya drama manis yang kau lakukan begitu lihai saat bersamaku. Begitu pandai kau memainkan peran sampai-sampai aku tak melihat apa yang ada di balik topengmu. Aku hanya bonekamu, yang senang kau junjung tinggi, kau peluk, kau cium dan kapan saja bisa kau jatuhkan kapanpun kau mau. Seperti itu bukan?
Entah karena aku wanita bodoh yang mudah saja kau permainkan. Atau kamu yang terlalu jahat berhasil membuatku jatuh cinta lalu pergi begitu saja. Mengapa kamu tak pernah lihat bagaimana aku yang rela melakukan apapun agar hubungan kita tetap baik-baik saja? Mengapa kamu tak pernah menengok sedikitpun usahaku agar kamu tetap berada di sisiku? Meskipun hatiku remuk redam saat kau lontarkan dua kata, "kita putus". Segitu sajakah perjuanganmu untuk hubungan kita? Kamu begitu berbeda tak seperti kamu yang dulu begitu manis saat mendekatiku. Aku ingat kamu pernah berkata, kenapa hanya laki-laki saja yang berjuang dalam suatu hubungan. Rasanya saat itu aku ingin berkata sekeras-kerasnya di telingamu dan mengatakan, "Lalu apa artinya usahaku selama ini untuk tetap berada di sisimu?". Hey aku tak pernah sebecanda itu untuk mencintaimu.
Kamu yang telah membawaku jauh berlari tapi kamu juga yang meninggalkanku sendirian. Selalu ada pertanyaan yang sama, mengapa kamu pergi saat aku yakin bahwa hanya kamu yang akan membuatku bahagia, mengapa kamu menjauh saat aku masih ingin menyelami dirimu. Mengapa semua ini terjadi justru saat aku yakin ingin mempertahankanmu?
Sudah hampir 8 bulan setelah kamu mengakhiri hubungan kita, aku masih merasakan sesak yang sama ketika melihat fotomu. Mengapa kamu terlihat lebih tampan saat kita tak lagi menjalin hubungan? Aku rindu hidungmu, dahimu yang lebar, matamu yang teduh, lenganmu yang berotot, lekukan senyum manismu, renyahnya tawamu, khasnya suara manjamu, aku rindu semua yang jauh sebelum hari-hariku kulewati tanpamu sekarang. Aku tak lagi bisa menikmati itu semua. Tak lagi bisa menatap wajahmu dengan jarak yang begitu dekat. Tak lagi bisa mencium aroma parfummu yang begitu kusukai. Mengapa hal-hal indah itu terjadi sebelum hari ini? Ah, lagi-lagi hanya kenangan yang ku dapatkan, bukan kamu, apalagi cintamu.
Terkadang aku merasa jadi wanita yang paling sedih, wanita yang paling merana karna selalu saja ditinggal saat sedang cinta-cintanya. Ini salah siapa? Salahmu atau salahku? Saat kamu datang begitu manis, mengulurkan tanganmu, berkata bahwa kamu menyukaiku, dan menyakinkanku bahwa aku akan kau jadikan satu-satunya. Aku telah kau buat terlena, mabuk kepayang, jatuh cinta setengah mati, lalu pada akhirnya kau buat sakit hati sendirian.
Setelah 8 bulan, nyatanya aku belum bisa melupakanmu, melupakan segala tentang kita. Dan malam ini aku menangis lagi karena mengingat kita yang dulu begitu berarti bagiku, namun mungkin tidak bagimu. Kita yang dulu sedekat nadi, sebelum sejauh matahari. Kita yang dulu berbagi banyak hal, kini saling tak kenal. Begitu menyakitkan karena sikap manismu dulu berubah 180 derajat setelah aku bukan lagi menjadi siapa-siapa dalam hidupmu. Kamu menjadi sosok yang berbeda dari awal kedekatan kita. Mungkin aku belum tahu banyak tentang dirimu, namun tahukah kamu telah menjadi satu-satunya dalam hatiku.
Kamu tak akan pernah paham bagaimana aku yang ingin terus memperjuangkanmu. Aku selalu menganggapmu yang terbaik meskipun banyak pria berusaha mendekati dan merebut hatiku darimu. Aku meninggalkan mereka, demi kamu-- karena aku percaya bahwa pria biasa sepertimu pun punya kesempatan yang sama untuk membahagiakanku.
Kini, kamu telah berlari dan membiarkanku berjalan jauh di belakangmu. Dan sekarang aku paham, kata cinta yang terucap dari bibirmu hanyalah sandiwara yang kau mainkan begitu lihai. Begitu juga dengan rindu yang terucap dari matamu, hanyalah drama yang kau pentaskan dengan sempurna. Apakah pelukan dan ciumanmu juga bagian dari dramamu? Tentu aku kalah, karena aku tidak pandai bermain peran sepertimu. Yang ku tahu, mencintaimu bukanlah sebuah skenario yang harus ku pertontonkan.
Aku hanya ingin berpesan, jangan pernah menyesal karena kamu memperlakukan aku seperti ini. Aku tidak akan menyumpahi, berdoa pada Tuhan agar Dia mengutukmu, tapi satu hal yang kautahu; tak akan ada cinta yang sama, tak ada perhatian sekuat yang aku punya, tak akan ada perempuan yang mau merendahkan dirinya, hanya demi mencintai pria biasa. Tak akan ada sosok yang mencintaimu dengan sangat sabar, kecuali aku.
Mungkin kamu bahagia karena telah kembali padanya, namun suatu saat waktu pasti akan menunjukkan, betapa selama ini kamu melakukan kebodohan nomor satu karena telah menyia-nyiakan orang yang begitu tulus mencintaimu. Waktu akan membuatmu paham, bagaimana rasanya ditinggalkan saat sedang cinta-cintanya. Saat ini mungkin menurutmu dialah yang terbaik, hanya karena kenanganmu dengan dia belum bisa kamu lupakan. Yang terbaik bagimu belum tentu terbaik di mata Tuhan.
Terima kasih untuk sebulan yang bagiku begitu ajaib. Aku rindu manisnya dirimu. Seandainya kau tahu, aku lelah karena memendam rindu sendirian. Kalau pun kamu tak ingin menemuiku lagi, kalau pun kita tak akan pernah seperti dulu lagi, aku hanya punya satu permintaan. Tolonglah tetap membawa namaku dalam salat lima waktumu sesering ketika aku mengadahkan tangan berdoa agar kamu selalu dilimpahkan kesehatan dan kebahagiaan.
Seandainya kamu tahu, rindu tak pernah sebentar...