Disela-sela kesibukanku yang padat, nyatanya aku masih sempat merasakan rindu yang menggerogoti hati yang kesepian. Rindu yang bergejolak tapi tak dapat diutarakan, tak dapat diungkapkan kepada pemiliknya. Aku pikir dengan segala kesibukanku yang menggunung, aku bisa menghilangkan bayanganmu dalam pikiranku; melupakan senyuman dan canda tawa yang dulu pernah kamu rangkai dalam hari-hariku. Tapi nyatanya segala usaha kerasku sampai saat ini tak membuahkan hasil. Nihil!. Disaat aku butuh sandaran untuk menghapus lelah, disaat itu pula ingatanku tentangmu kembali muncul. Mungkin aku yang belum terbiasa atau mungkin aku yang tak benar-benar ingin menghapus jejak langkahmu dalam hidupku.
Seandainya kamu tahu, aku berusaha mati-matian untuk menghapus segala yang menyakitkan tentangmu dalam pikiranku. Aku mencoba agar air mataku tak lagi menetes saat aku begitu merindukan sosokmu yang dulu menjadi kekuatan terbesar dalam hidupku. Aku menahan ketakutanku jika seandainya suatu saat nanti kamu tak akan pernah pulang lagi. Jika seandainya kamu tahu bagaimana rasanya jadi aku mungkin kamu belum tentu bisa sekuat ini. Kamu tak pernah tahu, aku membunuh diriku sendiri untuk membuatmu hidup dan bernafas. Katakan saja, aku ini seperti payung, yang hanya kau buka saat awan terlihat mendung; yang rela membiarkan tubuhnya basah kuyup untuk melindungi tubuhmu agar tetap kering. Aku ini hanya gadis yang tak tahu apa-apa; yang ia tahu hanya merasa nyaman saat seseorang memberikan perhatiannya dan harus membalasnya dengan mencintainya begitu tulus.
Mungkin aku yang salah mengartikan, menganggap segala perhatian dan tingkahmu yang manis adalah bentuk jika kamu juga mencintaiku dengan tulus. Rasanya tidak adil jika ingin dihitung-hitung, aku mencintaimu tanpa aku harus memaksamu menjadi milikku. Tapi kamu, ah seandainya aku bisa tahu apa yang ada dalam pikiran dan hatimu. Aku tak mungkin rela jatuh berkali-kali hanya untuk menggapaimu. Sudahlah, biarkan aku merindukanmu begitu menggebu-gebu, mencintaimu begitu ikhlas tanpa harus memintamu untuk membalas. Walaupun aku tahu kamu tak akan mungkin berbalik arah untuk menemuiku. Walaupun aku tahu, didepanmu sudah ada wanita yang sekaligus bisa menjadi sahabat terbaikmu. Aku hanya bisa tersenyum miris; tak bisa lagi mengungkapkan segala kecemasanku dengan kata-kata.
Dan di tengah kesibukanku ini, aku masih sempat berandai-andai jika kita bisa seperti dulu. Berbincang-bincang dengan perkerjaan kita masing-masing, saling mengeluh, lalu berujung pada candaan yang membuat kita lupa pada lelah setelah bekerja seharian. Aku bisa bersandar dipundakmu, menggenggam tanganmu sembari kamu mengacak-acak rambutku lalu aku membalas dengan menjepit hidungmu yang mancung itu. Aku rindu saat-saat seperti itu. Saat-saat yang membuat hidupku sempurna karna adanya kamu. Kamu memeluk tubuhku seperti seorang kakak, mencium keningku seperti seorang ayah, mencium pipiku layaknya kekasih, berbisik ditelingaku seperti sahabat, dan menemaniku layaknya saudara. Rasanya bohong jika aku tidak takut kehilanganmu setelah apa yang kamu lakukan. Rasanya aku berdosa jika aku tak jujur bahwa aku begitu mencintaimu.
Entah dengan kekuatan magis apa kamu membuatku begitu mencintaimu hingga berdarah-darah begini. Hingga membuat aku merasa wanita paling hebat karna jatuh berkali-kali tanpa merasa kesakitan. Seperti yang pernah kamu katakan bahwa aku hanya ada satu di dunia ini, hingga dulu kamu memperlakukan aku layaknya seorang putri yang harus dijaga. Tapi nyatanya saat ini bukan lagi aku putri yang harus kau jaga. Bukan lagi aku yang harus kau hapus air matanya karna lelahnya pada dunia yang membuatnya menangis. Aku sadar aku bukan lagi siapa-siapa; bukan lagi jadi bagian terpenting dalam hidupmu. Tapi biarkan aku terus menggilaimu, biarkan aku seperti orang yang sakit jiwa agar aku tak pernah merasa terpaksa karna mencintaimu. Kamu tak perlu cemas, aku tahu apa yang terbaik untuk diriku. Aku hanya tak ingin terluka lagi dan lagi hingga membuatku jera.
Dari seorang gadis pecundang,
Yang hanya bisa mencintaimu disela kesibukannya.