Selasa, 16 Juni 2015

Kamu dan Perempuanmu

Ini tulisan gadis pemimpi yang masih senang bermimpi di dalam dunia nyata, mimpinya sederhana saja; hanya ingin bahagia bersama satu lelaki yang setia. Setelah mimpi bersamamu tak dapat ku gapai, aku memutuskan untuk membangun mimpi yang baru tentunya bersama lelaki yang lebih baik darimu. Lelaki yang lebih menghargai perjuanganku, lelaki yang akan membuat pipiku basah karena air mata bahagia; bukan air mata kesedihan, lelaki yang tak akan menyembunyikanku dari sorotan mata dunia, dan lelaki yang selalu menyebut namaku di setiap doanya.

Aku memang belum bertemu dengan lelaki itu, tapi suatu saat aku akan memperkenalkannya padamu, hingga membuatmu sadar dan menyesal bahwa meninggalkanku adalah kebodohan nomor satu. Berbahagialah dengan mantan kekasih yang sekarang telah menjadi milikmu lagi. Aku sangat berterima kasih padanya karena telah mengambil seorang lelaki yang hanya menjadikanku persinggahan sesaat, seorang lelaki sepertimu yang sama sekali tak pantas untukku perjuangankan.

Kamu yang lebih dulu bercerita tentang dia saat kedekatan kita terjalin, kamu bilang hubungan kalian telah selesai karena terhalang jarak. Kamu di Tangerang sedangkan dia di Bandung. Selama ini aku hanya sekedar jadi pendengar yang baik. Aku tak pernah berkomentar tentang dia, dan aku tak mau tahu sama sekali bagaimana masa lalumu dengan dia. Dan saat kita menjalin hubungan, kamu bilang dia selalu mencari tahu tentangmu. Bahkan dia sempat mengucapkan selamat pada kita yang telah berstatus pacaran. Aku tahu betul bagaimana perempuan yang berpura-pura tegar, aku tahu dia masih sangat menginginkanmu. Kamu selalu berkata dengan nada tinggi saat aku membicarakan dia, saat aku menunjukkan tulisan kegalauannya di jejaring sosial. Ketika aku tahu dia galau berat karenamu, aku mulai takut kamu akan luluh dan kembali padanya.

Harusnya aku paham bahwa kemarahanmu ketika aku menyebut namanya bukan karena kamu sudah tidak peduli tapi hanya karena kamu ingin menyembunyikan perasaanmu padanya. Aku tak habis pikir bagaimana kamu begitu rapi menyembunyikan perasaanmu dan seolah-olah aku lah yang paling salah dalam hubungan kita. Katamu, aku belum bisa melupakan mantan-mantanku. Kamu bilang aku harus menghapus semua kontak yang berhubungan dengan mereka. Demi kamu aku melakukannya. Padahal aku selalu jujur padamu, aku sudah melupakan perasaanku pada mereka jauh sebelum aku dekat denganmu. Aku menganggap mereka teman dan tak pernah berharap sedikitpun untuk kembali pada mereka yang telah menyakitiku. Jelas, aku lebih mempermasalahkan hubunganmu dengannya. Sebagai perempuan aku tahu betul bagaimana perempuan yang masih berharap. Aku tahu dia masih mengingkanmu kembali. Aku bisa apa selain diam dan menahan ketakutanku sendiri.

Dan saat dimana aku tahu kalian mempermainkanku, saat aku tahu kalian begitu munafik, rasanya aku begitu membencimu, membencinya, membenci kalian. Rasanya aku ingin menampar kalian, mencaci maki kalian dan berkata, "Mengapa kamu begitu brengsek, mengapa dia tega merebutmu dariku, mengapa kalian begitu jahat padaku!"
Apa aku salah menerimamu ketika kamu datang dengan manisnya memintaku untuk menjadi kekasihmu? Apa aku salah mencintaimu sedangkan aku tak pernah tahu bahwa ada perempuan yang masih menginginkanmu kembali?

Harusnya aku tak perlu merengek agar kamu tak pergi. Harusnya aku tak perlu meminta maaf atas setiap pertengkaran yang terjadi, karena memang kenyataannya aku tak pernah sedikitpun berniat mengkhianatimu. Entah kamu menyadarinya atau tidak, yang jelas aku tahu siapa pengkhianat dan siapa perebut. Aku akui berat rasanya menerima kenyataan bahwa kamu tak lagi menjadi milikku. Aku akui bahwa diam-diam aku masih sering merindukanmu. Aku tak ingin memaksa otakku untuk melupakanmu karena dengan begitu hanya akan menambah luka. Biarkan semua menghilang seiring berjalannya waktu.

Jika menurutmu dia adalah perempuan baik. Jika dia memang pantas untuk kamu perjuangkan. Terserah. Lakukanlah. Menurutku perempuan baik tidak akan merebut milik perempuan lain. Dan satu hal, kalaupun aku tidak mendapatkan apa yang ku mau, aku tak pernah mati-matian merebut milik orang lain. Dulu katamu aku perempuan yang terlalu baik untukmu. Ku pikir kata-katamu itu ambigu. Dan kamu memutuskan untuk meninggalkanku lalu lebih memilih dia; perempuan yang telah merebut milik perempuan lain. Apakah itu menurutmu perempuan yang baik?

Minggu, 07 Juni 2015

Delapan bulan tanpa kehadiranmu

Malam ini aku baru saja selesai mengikuti training cashier di salah satu supermall di tangerang. Mungkin kamu sudah tak tahu banyak tentang aktivitasku saat ini. Aku tak lagi bekerja di restoran yang butuh perjuangan mental dan fisik yang ekstra itu. Aku memutuskan untuk resign karena aku sudah benar-benar mencapai titik jenuh bekerja di sana. Harusnya aku mendengar nasehatmu yang menyuruhku segera resign, namun aku selalu kekeh karena alasan mencari pekerjaan itu sulit. Dan benar saja mencari pekerjaan di zaman era globalisasi saat ini susahnya luar biasa.

Mungkin hanya keberuntungan yang aku dapatkan saat ini, karena diterima sebagai cashier. Padahal pengalamanku tak begitu banyak tentang cashier. Aku jalani saja, yang terpenting aku tidak menjalani hari-hariku yang hanya berdiam diri saja di rumah. Semakin lama aku  berdiam diri di rumah, semakin aku teringat tentang kamu. Iya, mungkin itu salah satu alasanku mencari kesibukan, karena tak ingin terus menerus meratapi kesedihanku karenamu.

Tempat kerjaku sekarang tentu lebih jauh dibandingkan dengan yang dulu. Bedanya lagi, dulu kamu sering menjemputku tapi sekarang lagi lagi aku harus mengendarai motorku sendiri. Memang aku sudah biasa pulang malam sendiri, aku biasa pergi jauh sendiri. Aku tak perlu minta tolong siapapun untuk menjemputku. Tapi bukan itu masalahnya, aku tak lagi bisa duduk di atas sepeda motormu yang bising itu dan memelukmu manja ketika kamu mengendarai motor seperti orang gila lalu aku mencubit perutmu, mengoceh sepanjang jalan agar kamu tak perlu mengebut kencang. Dan kamu hanya membalasnya dengan tertawa lirih.

Aku sering melewati jalan dimana kita pulang sehabis menonton film waktu itu, dipinggir jalan seberang showroom; kamu meminggirkan motor ninjamu dan melepaskan jaketmu lalu memberikannya padaku. Katamu agar aku tak masuk angin. Aku juga ingat, ketika beberapa kali kamu menjemputku, kamu menunggu di minimarket seberang restoran. Ketika aku datang, kamu segera mematikan rokokmu karena kebiasaanmu yang tak ingin merokok di depan perempuan. Banyak hal yang mengingatkanku padamu, meskipun aku tak sengaja ingin mengingatnya.

Aku meminggirkan motorku di depan warung ketoprak, segera aku memesan satu bungkus ketoprak untuk dimakan di rumah saja. Seketika aku ingat, ketika kita memesan dua bungkus ketoprak untuk dimakan di rumahmu, sambil menunggu; aku yang duduk di kursi kayu panjang dan kamu yang berdiri sambil mengenggam tanganku, terus menatapku sambil tersenyum manis seakan mata itu berbicara bahwa kamu ingin terus bersamaku walau hanya dengan kebersamaan yang sederhana. Aku membalasnya dengan cubitan di perutmu yang selalu ku bilang gendut itu. Air mataku seketika membendung dan tak bisa ku tahan lagi. Ibu penjual ketoprak memberikan bungkusannya, segera aku menghapus air mataku dan lagi lagi tentu dengan tanganku sendiri.

Setelah sampai di rumah, aku duduk sejenak di kursi depan pagar rumahku. Biasanya ketika kamu datang, aku menyambutmu dengan senyum manis dan kamu membalasnya dengan mencubit pipiku. Lagi-lagi aku masih berharap kamu akan datang dan menjelaskan bahwa selama delapan bulan terakhir ini kamu menyesal karena telah melakukan kebodohan nomor satu yaitu membuatku menangis dan sakit hati. Walaupun aku tahu, mustahil jika kamu akan datang dan memelukku lagi seperti orang yang tak ingin kehilangan. Kamu pun pernah berkata bahwa kamu tak akan datang lagi ke rumahku dan entah karena alasan apa yang aku pun tak pernah tahu.

Banyak hal yang mengingatkanku padamu, walaupun hanya kebiasaan sederhana. Apa kamu ingat ketika aku selesai memakai lipstik, kamu sedang melamun kemudian tiba-tiba aku mencium pipimu dan meninggalkan tanda bibir merah di sana. Sambil tertawa, kamu mengancam akan memberitahu ibuku jika aku tidak segera menghapusnya. Ingatan itu masih hangat di otakku. Mungkin kamu sudah lupa semua tingkah konyol yang kita lakukan atau mungkin semua itu tak pernah tertinggal sedikitpun di ingatanmu.

Jika suatu hari nanti kamu datang dan bertanya apa saja kenangan yang telah kita buat, pasti dengan antusias aku akan menjelaskan dari awal satu persatu sampai kamu ingat. Sampai kamu menyadari bahwa aku tak pernah main-main mencintaimu. Teman-temanku begitu juga dengan temanmu, mereka selalu bilang bahwa aku harus melupakanmu. Mereka bilang harusnya aku tak perlu menangisimu karena hubungan kita yang hanya berjalan satu bulan. Mereka hanya bisa berkata tanpa mereka tahu bahwa sebulan yang ajaib itu banyak kenangan yang kita buat dengan cara kita sendiri, hampir setiap hari aku bertemu denganmu, hampir setiap hari kita melakukan kebodohan yang siapapun mungkin tak akan pernah paham. Kamu mengenggam tanganku, memeluk erat tubuhku, menatapku dengan mata teduhmu, melindungiku seolah tak ada siapapun yang boleh menyentuhku.

Sepertinya mereka tak tahu bahwa sulit melupakan bukan karena berapa lamanya kita menjalin hubungan tapi seberapa banyak kenangan yang ada di dalamnya walau hanya dalam waktu singkat. Dan kamu pun mungkin tak pernah tahu bagaimana usahaku selama ini hanya untuk menghilangkan perasaan ajaib yang ternyata membuatku terluka separah ini. Bukan ingin melupakan kenangan yang telah tercipta, tapi karena aku sudah lelah menyimpan rasa yang tak akan pernah kamu balas.

Kamu tak akan pernah tahu betapa beratnya aku menjalani hari-hari tanpa mendengar suaramu, betapa beratnya tanpa chat bbm dan voice note darimu, betapa beratnya tanpa genggaman tanganmu, betapa beratnya tanpa kecemburuanmu, betapa beratnya tanpa kata-kata manjamu, betapa beratnya tanpa mendengar bisingnya suara motormu, betapa beratnya tanpa kehadiranmu yang telah mengubah duniaku. Aku rindu ketika pertama kali aku memanggilmu "Mas", ketika aku berbicara denganmu dengan logat jawa dan kamu membalasnya dengan logat jawa yang berantakan. Dan seketika tawa kita pecah hanya karena candaan yang sederhana.

Sekarang, tak ada lagi pundak sebagai tempatku bersandar, tak ada lagi peluk sebagai tempatku menghapus lelah, tak ada lagi kamu yang selalu siap mendengar segala keluh kesahku. Tentu aku harus terbiasa dengan itu semua. Aku harus tetap menjalani hari-hariku seperti manusia normal lainnya. Berpura-pura kuat padahal kenyataannya serapuh kayu tua. Iya, aku tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa hidupku akan seneraka ini tanpamu. Kini, kita seperti matahari dan pluto dengan jarak yang begitu jauh dan tak akan pernah berdekatan.

Sebisa mungkin aku tak bertanya pada teman-teman kita bagaimana kabarmu, bagaimana hubunganmu dengan wanita itu. Karena tentu akan menambah luka jika mereka bilang kalian dalam hubungan yang baik-baik saja. Aku hanya cukup diam dan biarkan waktu mengerjakan tugasnya untuk menghapus segala rasaku padamu, menghapus rindu yang sudah bertumpuk-tumpuk. Jika aku bisa memutar waktu kembali, aku ingin memastikan bahwa tak ada wanita yang terluka dan masih mengharapkanmu kembali. Dengan begitu aku tak perlu bersusah payah memperjuangkanmu.

Dari perempuan;
yang masih merindukanmu, yang mencintaimu dengan air mata.

Senin, 01 Juni 2015

Tak semudah melupakan mimpi

Tak ada yang berbeda. Tak ada kisah baru yang lebih baik dalam hidupku, semanis dan seindah saat masih bersamamu. Mimpiku masih sama;masih kamu, entah karena rindu yang mengekang atau aku yang masih sibuk mengenang. Berani-beraninya kamu muncul tanpa permisi dalam mimpiku. Sejujurnya aku benci karena mimpi hanyalah mimpi, kehadiranmu tak akan pernah pasti.

Tak banyak yang berubah. Sakitku masih parah, lukaku masih bernanah. Mengapa tak sekalian saja kau buat aku sekarat karena rindu yang bersenandung hebat. Aku tak paham lagi mengapa kamu sosok yang begitu ku perjuangkan, malah lebih memilih memperjuangkan orang lain. Aku hanya bisa tersenyum getir, karena perjuanganku selama ini ternyata hanyalah sampah di matamu.

Tak ada yang kamu tinggalkan disini, selain luka yang mengekal di ingatan, pun kenangan yang kau ciptakan begitu dalam. Mimpi semalam seperti rindu yang tak bertuan, tak berasal. Merindukanmu, entah kapan lagi aku bisa tenggelam dalam peluk tubuhmu, menatap mata teduhmu yang seketika membuatku bisu. Aku telah tenggelam dalam angan yang tak akan pernah jadi nyata. Bodoh, hatiku sudah lebam, lukaku masih menganga, ingatanku masih keram; masih saja mencintaimu diam-diam.

Mungkin kamu sedang asyik menyelami hati yang baru, sedangkan aku di sini masih saja sibuk dengan tulisan basi dan luka-lukaku yang belum juga kering. Saat ini aku ingin menertawakan diriku sendiri karena terlalu sering merayakan sepi di atas luka-luka yang kamu torehkan. Mengingat kamu; mengingat kenangan kita, lalu berujung menangis tanpa suara hingga dadaku sesak.

Jika kamu tahu tingkah konyol apalagi yang aku lakukan, mungkin kamu akan tertawa sekencang-kencangnya. Aku sering menatap rumahmu dari kejauhan. Harapanku tak muluk-muluk, hanya ingin melihatmu; itu saja. Karena aku tahu diri, tak akan berharap ada lambaian tangan dan senyum manis yang menyambutku seperti dulu. Begitu saja terus ketika aku begitu merindukanmu, tapi tak pernah sekalipun melihatmu walau hanya sebentar saja. Pernah sekali ketika menunggumu berjam-jam di ujung  jalan dekat rumahmu, aku menangis sejadi-jadinya. Tak jarang orang yang berlalu lalang. Jika ada yang memperhatikanku sejak lama, mungkin mereka akan berpikir bahwa aku ini aneh aku sudah gila. Tapi aku tak peduli hanya demi melihatmu.

Jika kamu tahu, mungkin kamu akan semakin muak dengan gadis ini, gadis yang selalu terlihat lemah di matamu, gadis yang bisanya hanya menangis ketika kamu tak memperdulikannya. Aku ingin belajar menabahkan luka sementara waktu, namun tak ada dayaku untuk itu ketika kenangan terus saja memburuku tanpa jemu. Kini kita tinggal cerita, kita berakhir di sini. Dan untuk kesekian kalinya, aku harus belajar melepaskan, belajar mengikhlaskan. Seharusnya aku tetap berada pada duniaku, dunia yang ku bangun dengan susah payah. Namun entah dengan kekuatan magis apa, aku beranikan diriku menujumu, menuju di mana tempat kamu berdiri. Aku tidak menyesal, hanya saja aku terlalu bodoh karena terlalu cepat menilai bahwa kamu benar mencintaiku.

Sejujurnya aku ingin menghapuskan rasaku padamu, meniadakan bayangmu; secepat aku melupakan mimpi tadi malam. Namun ternyata tak semudah itu. Aku juga ingin bahagia dengan yang lain, dengan seseorang yang tulus, yang akan memayungiku saat hujan mencoba menggelitik manja tubuhku, yang akan menghangatkanku sebelum dingin malam merayapi tubuhku, yang bersedia menyediakan pundaknya sebagai tempatku melepas lelah, dan yang selalu memelukku di setiap rintihan sunyi doanya. Bukan pria sepertimu yang hanya menjadikanku persinggahan sesaat.

Jika mencintaimu adalah luka, maka biarlah aku menjadi rindu dalam doa-doa yang tak kau ketahui. Jika bahagia berarti melupakan bayangmu yang terhisap rindu tadi malam, akan ku lakukan.
Mungkin, kamu sudah jauh lebih dulu melupakan segala tentang kita. Ciuman itu, biarlah menjelma sebagai rahasia kecil kita, mengekal di ingatan waktu. Air mata ini, biarlah menjadi syarat; betapa semuanya begitu sayang untuk ku buang. Dan luka ini, biarlah menjadi tanda bahwa keindahan rasa ini terlalu anggun hanya untuk sekedar dilupakan.

Menghapus bayangmu ternyata tak semudah melupakan mimpi...