Jumat, 25 Maret 2016

(:

Kamu terlalu berbahaya untuk aku dan itu baru aku sadari setelah pertemuan kita yang kesekian kalinya. Aku masih tak mengerti dengan semua ini, atau aku yang terlalu terbawa dalam perasaan kisah lalu. Ternyata memulai pertemanan kembali denganmu tidaklah mudah. Karena sesungguhnya masih ada jejak rasa dalam hati ini. Apa namanya jika pandanganmu membuatku salah tingkah? Apa namanya jantung rasanya berdetak kencang ketika berada didekatmu? Dan apa namanya ketika senyum dan tawamu adalah satu-satunya pengobat rindukku padamu? Kamu terlalu berbahaya untuk aku, untuk kita yang sekarang hanya berstatus teman.
Rasa-rasanya aku ingin mempertanyakan semua yang membuatku penasaran sampai saat ini. Masihkah tak ada cinta untuk aku? Masihkah kamu tak yakin bahwa aku mencintaimu setulus ini? Masihkah kamu ingin berlayar dan tak ingin memberhentikan pencarianmu padaku?
Aku tidak tahu apakah di hatimu ada cinta atau hanya ketertarikan sesaat. Mungkin aku hanya selingan ketika kamu menghadapi kebosanan, mungkin juga aku perempuan yang kamu cari-cari jika tidak ada lagi telinga yang mendengarmu, atau mungkin saja aku hanya sekadar tempat bersinggah yang kemudian akan kamu tinggalkan setelah tenagamu pulih dari lelah.
SepertI kata mereka mau-maunya aku dijadikan sampah ketika ada perempuan lain di kehidupanmu. Aku sudah biasa dianggap bukan apa-apa, aku sudah biasa dengan sikapmu yang terlalu sering mengacuhkan aku. Aku memang perempuan bodoh yang masih saja mencintai pria sepertimu tanpa berharap kamu membalas semua perasaanku, sedalam dan setulus itu. Aku mencintaimu penuh tujuan, sementara kamu tak pernah menjadikanku sebagai tujuan. Jika kamu ingin tahu, sebenarnya aku lebih ingin jika kamu memberhentikan pencarianmu di dalam pelukku, sehingga kamu tidak perlu lagi melompat ke dalam pelukan perempuan lain. Tapi, aku memilih diam, karena aku tidak berhak untuk meminta apalagi menghasut. Seandainya, dirimu sungguh bisa kutarik dalam semestaku, aku hanya ingin membiarkanmu menjadi milikku satu-satunya. Namun, itu tidak mungkin, mengingat kita yang sekarang hanya berstatus teman rasanya tak mungkin aku menuntut lebih dari itu. Aku hanyalah butiran debu yang tak akan pernah kamu sentuh. Aku tak akan pernah berati apapun di matamu. Tapi, sayangnya kamu terlanjur masuk terlalu jauh dalam hati ini.
Kamu terlalu berbahaya untuk aku, terlalu penuh duri untuk dipeluk, terlalu banyak luka untuk dicicipi, dan sebutkan satu alasan saja yang paling logis; mengapa mencintaimu dalam keadaan berbahaya seperti ini jauh lebih menenangkan daripada melepasmu pergi kemudian menerima kenyataan bahwa kita tidak akan pernah menyatu lagi?
Kamu terlalu berbahaya untuk aku cintai, sementara aku belum mau berhenti.

Van, Masih bolehkah aku mencintaimu?

Selasa, 15 Maret 2016

Lebih Baik Tidak Tahu

Kadang, lebih baik kamu nggak tahu segalanya, daripada setelah kamu tahu; kamu malah ingin mengakhiri semuanya. Kadang, lebih baik kamu nggak perlu tahu kenyataan yang sebenarnya, daripada setelah tahu; kamu malah ingin menjauh dari dia-- selamanya.
Semua memang tidak kamu mulai dengan kepura-puraan, kamu sungguh mencintai dia, meskipun dia tidak mau cerita bagaimana hidupnya. Bagimu, hal itu tidak masalah, kamu berusaha mencintai dia, pun juga menerima segala kekurangan, dan seluruh beban masa lalunya. Kamu tidak mempermasalahkan segalanya, bagimu cukup dia ada di sampingmu, bagimu cukup dia selalu ada untukmu, dan itulah kebahagiaan utuh yang ada dalam gambaran sempurnamu.
Tapi, kamu tidak pernah tahu, semua orang menyimpan rahasia yang mungkin tidak ingin dia katakan bahkan pada orang terdekatnya, bahkan juga padamu. Ketika pada akhirnya dia mengakui bahwa dia sudah lebih dulu jatuh hati pada yang lain, rasanya kaumau meledak saat itu juga. Lalu kaumemutar ulang semua yang pernah terjadi, semua kebahagiaan yang telah kalian lalui berdua. Kautahu bagaimana menyenangkannya terbenam di dalam peluknya, bagaimana antusiasnya dirimu jika bersandar dalam bahu kokohnya, bagaimana damainya saat bibirnya mengecup ubun-ubun kepalamu.
Kamu tahu betul dan semua itu membuatmu merasa dianggap ada, merasa yang pertama, merasa satu-satunya. Namun, setelah kamu tahu dia sudah bersama yang lain, sebelum menjalin hubungan denganmu, rasanya kamu ingin memaki dirimu sendiri. Menyalahkan keadaan dan ingin segera lupa ingatan. Berharap hari ini tidak pernah ada, berharap dia tidak pernah masuk dalam duniamu, berharap kamu tidak terbiasa pada semua aktivitas yang melibatkan dia dalam hari-harimu.
Namun, dia telah menatap di sini, di lorong hatimu yang sempat sepi, lalu dia tiba-tiba menghuni, menunjukan jalan terang yang kalian berdua tapaki. Setelah berjalan terlalu jauh, pada akhirnya dia memilih seseorang yang lain, kekasih hati utamanya, pergi begitu saja, tanpa pernah berpikir bahwa ada kamu yang telah mati-matian memperjuangkan dia tanpa menuntut dicintai kembali.
Memang kadang, lebih baik kamu tidak mengetahui kenyataan yang ada. Kamu berharap tidak pernah tahu bahwa kamu hanyalah kekasih gelapnya, bahwa kamu hanya yang kedua, bahwa kamu hanya pilihan ketika dia bosan. Kamu berharap tidak pernah tahu segalanya, hingga dia tetap berada di sisimu, meskipun dengan kebohongan semu yang kaupikir cinta.

-Dwitasari

Rabu, 09 Maret 2016

Egoku yang Tak Kamu Tahu

Ini sudah kesekian kalinya aku menulis tentangmu, aku tak peduli kamu akan membacanya atau tidak, aku tak peduli nantinya kamu akan semakin muak pada gadis yang selalu terlihat galau karena tulisannya yang mungkin terlihat sampah di matamu. Aku tak peduli dengan semua pandanganmu tentangku. Kamu tak tahu kan, jika hanya dengan menulis semua apa yang tak bisa aku ucapkan padamu, hati ini terasa lebih lega. Saat keegoisanku ingin memelukmu, menyentuhmu, dan mengucapkan kata rindu, aku tumpahkan semua dengan tulisan ini. Iya, karena siapalah aku di matamu. Aku bukan lagi seseorang yang bisa mendengar kata rindumu di penghujung malam, aku bukan lagi seseorang yang bisa merasakan peluk hangatmu ketika kamu berada di ujung lelahmu, dan aku bukan lagi menjadi tempatmu pulang. Aku merasa kesesakan dalam rindu yang tak terucap, tak mungkin kan jika kamu tak tahu bagaimana rasanya? Ini salahku, ya selalu salahku yang terlalu memaksakan perasaan yang jelas-jelas selalu kamu abaikan. Aku tahu bukan keadaanlah yang salah, tapi salahku yang terjebak dalam perasaan sepihak yang ku ciptakan sendiri. Aku tahu kapan saja tanpa ku minta, luka itu akan kembali menganga karena aku yang terlalu terlena dalam perasaanku sendiri. Namun, salahkah jika aku hanya ingin membuktikan bahwa perasaan yang ku punya adalah ketulusan yang belum kamu pahami?
Aku tahu bagaimana rasanya melupakan masa lalu. Sulit, sangat sulit. Aku berusaha untuk tak menggubris perasaan ini, namun ketika kamu menghubungiku lagi, perasaan itu kembali meronta memuncak tanpa bisa ku kendalikan. Ketika aku bisa bertemu denganmu, hati ini tak bisa aku pahami. Aku sangat bahagia, tapI di satu sisi, ada rasa yang tak bisa ku jelaskan. Kamu ingat pertama kali, ketika kamu meminggirkan sepeda motormu dan memberikanku jaketmu agar aku tak kedinginan. Dan malam itu kamu mengulangnya lagi, namun kali itu karena gerimis dikepala kita berdua. Apakah kamu ingat ketika dulu kamu melajukan sepeda motormu dengan kecepatan tinggi, aku selalu memukul punggungmu atau mencubit pinggangmu, dan kamu hanya tertawa melihat wajahku yang ketakutan. Saat itu aku tak ingin melepaskan pelukanku sedetikpun. Namun, semua berbeda malam itu, aku tak bisa memelukmu lagi, aku tak bisa lagi menyandarku daguku diatas pundakmu dan bergurau di sepanjang jalan. Kamu tak tahu kan kalau kakiku pegal setengah mati hanya karena menahan jarak untuk tidak terlalu dekat denganmu. Ketahuilah, tanpa kamu minta aku akan memelukmu erat, iya sangat erat. Namun aku tahu diri, aku tahu siapa aku, aku tahu kapasitasku. Aku bukan lagi siapa-siapamu. Aku hanya tak ingin terbawa perasaan yang membuat hatiku semakin kacau. Saat berhadapan denganmu, itulah hal yang sesungguhnya membuatku bahagia sekaligus membuatku hatiku miris setengah mati. Kamu tak tahu kan? aku berusaha menahan keegoisanku, berusaha untuk tak mengungkapkan kerinduan yang selama ini aku pendam sendirian, berusaha agar kamu tak tahu bahwa hati ini masih menjadi milikmu, berusaha untuk tak menanyakan sesuatu yang dari dulu ingin aku tanyakan. Aku mencoba bungkam dan menutup mata akan pahitnya rasa kecewa yang dulu kamu torehkan. Saat bersamamu entah mengapa, aku seolah tak merasakan kekecewaan itu, aku seakan amnesia dengan kata-kata dan sikapmu yang dulu membuatku terluka. Mungkin kamulah alasannya; kamu pengundang tawaku, pengobat sakit hatiku, dan penghapus sedihku. Ah, entahlah semakin aku ingin melupakan perasaan ini, semakin aku tak mampu menghapus bayangmu.
Kamu mungkin tak tahu setiap malam, aku hanya menunggu chat darimu diantara banyak chat dari pria-pria yang malas sekali ku gubris. Berharap kamu menyapaku setidaknya menanyakan kabarku. Aku tidak peduli jika kamu hanya mencariku untuk hal-hal yang tidak penting, aku tidak peduli kamu menghubungiku hanya untuk menanyakan hal yang tidak berhubungan denganku. Aku bahagia setidaknya kamu masih mau berbicara denganku. Bukankah lebih menyakitkan jika seseorang yang dulunya tak pernah berhenti memberi kabar sekarang malah menghilang tanpa kabar?
Aku tahu ini sebuah kekonyolan. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya berhenti, aku tak tahu kapan harus mengakhiri sebelum semuanya akan lebih parah.
Aku tak meminta kamu membalas perasaan ini, aku tak meminta apapun darimu. Aku tak ingin menjadi paling benar mencintaimu, aku tak akan menjadi penghalang hubunganmu dengan wanita yang dekat denganmu, aku tak akan mengganggumu dan memaksamu untuk kembali. Karena hanya dengan melihatmu bahagia itu sudah cukup. Sekarang aku hanya perlu menutup mata, menutup telinga, tak mau tahu kamu sedang dekat dengan siapa, kamu sedang bersama siapa. Tak ingin lagi aku peduli hubunganmu dengan wanita-wanita lain. Yang aku takutkan hanya satu, kamu pergi seolah tak ingin lagi mengenalku. Alasan lain, masih adakah yang bisa aku paksakan, jika bagimu aku tak pernah jadi tujuan?
Setidaknya kamu perlu tahu, ada namamu dalam setiap doa panjangku. Aku hanya ingin terus memandangimu walaupun aku bukan menjadi rentetan dalam mimpi-mimpimu.

Dari seseorang
yang kehabisan cara menahan rindunya padamu.