Sejak pertemuan terakhir malam itu, segala hal tentangmu masih saja hinggap di kepalaku, bayangan wajahmu selalu saja menari-nari di setiap malam-malamku, kenangan tentang kita masih saja menempel dalam benakku, seperti enggan untuk pergi. Taukah kamu? sejak malam yang ternyata menjadi pertemuan terakhir kita, aku berusaha melawan jutaan kamu yang mengepul di otakku, seperti asap rokok yang mengepul di udara. Bagiku tak ada yang menyakitkan ketika rindu hanya dapat tertahan dalam diam. Aku memintamu untuk bertemu. Mungkin untuk yang terakhir. Ada rindu yang tertahan. Ada rasa yang belum kelar. Ada tanya yang belum sempat kamu jawab. Di atas sepeda motormu kamu menungguku. Berat rasanya langkah kaki ini menghampirimu. Bagaimana tidak? Hampir setiap malam kamu menjemputku, menungguku di atas sepeda motormu sambil menghisap rokok yang baunya tak kusukai. Menyambutku dengan senyumanmu yang manis dan sapaanmu yang hangat. Tapi malam itu berbeda, ketika senyummu tak lagi semanis saat itu, ketika sapaanmu tak sehangat dulu. Tak lagi terlihat tatapan teduh rindu di matamu. Tak ada lagi uluran tanganmu ketika aku datang. Tahukah kamu bagaimana rasanya? Tentu saja kamu tidak tahu karna kamu tak berada dalam posisiku saat itu. Di atas sepeda motormu yang jok nya lebih tinggi dari yang terakhir aku duduk di sini. Aku dan kamu hanya diam seribu bahasa. Hening, ketika hanya ada dengunan motor dan mobil di sebelah kiri kanan jalan yang menyalip sepeda motormu.
Dalam dinginnya malam dan bau tanah basah yang selalu membuatku jatuh cinta. Tapi tidak untuk saat itu, ketika dinginnya malam hanya lipatan tanganku yang sedikit menghangatkan tubuhku. Dulu biasanya kamu selalu menyuruhku memeluk tubuhmu. Tapi saat itu hanya lipatan tanganku yang merengkuh tubuhku sendiri. Di sepanjang jalan kita hanya memilih diam dan kamu hanya sibuk memperhatikan jalan. Aku hanya bisa memperhatikan wajahmu dari kaca spion. Memperhatikan sosokmu dari belakang. Terlalu banyak kenangan kali ini. Rasanya ingin pergi dan melupakan segalanya. Akhirnya, kamu membuka suara, bertanya mau kemana kita sekarang. Aku hanya jawab seperlunya, mengarahkan jalan, menunjuk ke arah warung kecil di pinggir jalan. Di tempat itu biasanya kita menikmati malam sambil makan bubur kacang hijau yang hangat. Membicarakan tentang kamu dan aku, selalu ku dengar tawa renyah dari mulutmu. Dan aku menyukai saat-saat seperti itu. Kenapa aku melihat kamu bukan lagi seperti sosok yang ku kenal dulu. Tatapan mata itu tak lagi teduh seperti dulu. Ah sudahlah aku bosan mendengar kata dulu. Tapi entah kenapa kenangan dulu selalu saja menarik untuk dibahas. Walaupun setiap aku mengingatnya ada pilu yang begitu dalam.
Percakapan kita dimulai ketika aku bertanya kenapa kita bisa menjauh seperti ini. Kenapa kamu lebih memilih kembali bersama wanita itu. Dan memutuskan untuk menghentikan perjuanganmu untuk kembali padaku. Sebenarnya aku tak ingin memulai pembicaraan yang hampir membuatku meneteskan air mata. Tapi aku terlalu penasaran. Apa yang membuatmu lebih memilih dia daripada aku. Kamu mulai membuka suara, bercerita apa yang sebenarnya terjadi. Dengan suara lirihmu kamu terus berbicara, hingga kamu tak memperhatikan raut wajahku yang telah berubah. Mataku mulai merah, ada bendungan air mata yang tak bisa tertahan lagi. Hingga akhirnya air mataku jatuh. Cukup! aku tak kuat kamu melanjutkan mulutmu mengeluarkan namanya. Aku tak kuat ketika kamu bilang bahwa ada sesuatu yang membuatmu tak bisa pergi darinya. Ada sesak dalam dada yang membuatku kehabisan kata. Sungguh aku tak pernah mengerti dengan semua itu. Dengan drama yang kamu buat yang akhirnya aku sebagai salah satu yang tersakiti. Saat itu aku ingin sekali menamparmu, mengeluarkan kata-kata dengan semua penghuni yang ada di kebun binatang. Tapi sungguh aku tak mampu melakukan itu, memperlakukan kasar pria yang begitu sangat kucintai. Seketika tubuhku lemas, aku ingin cepat pulang merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Dan bercakap dengan Tuhan, kenapa kisah ini begitu kejam.
Ketika melihatku menangis, kamu menghapus air mataku dengan jemarimu. Menggenggam tanganku sambil meminta maaf. Kenapa bisa-bisanya kamu melakukan itu ketika kamu sudah menghancurkan segalanya. Ini hanya membuatku semakin berat melupakanmu. Ah aku muak dengan semua itu! Hari sudah semakin malam, ketika kamu mengajakku pulang, dengan langkah gontai aku berdiri. Aku tak kuat lagi. Kepalaku pusing, mungkin karna terlalu lelah atau karna menangis sampai sesenggukan. Rintik gerimis di kepala kita berdua. Ah langit sepertinya merasakan apa yang aku rasakan, hingga dia menurunkan gerimis. Untung saja gerimis turun, sehingga air mataku yang terus menerus jatuh tersamarkan olehnya. Di sepanjang jalan aku hanya menangis sesenggukan. Seketika terlintas dalam benakku untuk meminta satu permintaan terakhir. Aku ingin memelukmu bersandar di pundakmu. Dan kamu hanya mengangguk mengiyakan. Sungguh aku tak peduli dengan mata orang orang yang tertuju pada kita. Aku tak peduli dengan gerimis yang semakin lebat. Tak peduli dengan dinginnya malam yang semakin menusuk tulang. Aku hanya ingin waktuku berhenti disini, saat aku memelukmu erat, ketika kepalaku bersandar di pundakmu, tempat ternyaman bagiku saat cinta selalu saja membuatku menangis. Hingga aku merasakan ada jemari yang begitu dingin merengkuh tanganku. Aku bisa merasakan eratnya genggaman tanganmu, entah hanya karna ingin menguatkanku atau tak ingin melepasku pergi. Entahlah, hanya kamu yang tahu arti dari semua itu. Yang jelas, aku hanya ingin berlama-lama seperti saat itu.
Kepalaku semakin berat, mataku semakin perih hingga aku tertidur di pundakmu. Dan samar-samar hanya ada dengunan sepeda motormu yang terdengar di telinga. Ketika sampai di ujung gang rumahku, kamu menyentuh pipiku membangunkanku dengan sangat hati- hati. Kenapa kamu tak mengantarkanku sampai depan rumah? Bukankah dulu kamu selalu ingin mengantarku sampai depan rumah dan melihatku sampai masuk ke dalam rumah? Dengan mata yang begitu sembab dan wajah yang kusut, aku turun dari sepeda motormu. Wajahmu yang begitu khawatir, matamu menatapku pilu, aku percaya kamu tak ingin melepasku secepat ini. Kamu memintaku memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Benarkah untuk yang terakhir? Ini seperti mimpi buruk buatku. "Jaga dirimu baik-baik, aku minta maaf", katamu. Aku hanya bisa tersenyum miris. Tenanglah aku pasti akan baik-baik saja, kamu pernah bilang bukan? bahwa aku wanita kuat aku wanita yang paling tegar aku wanita yang paling sabar. Hingga sampai pada titik yang paling lelah untuk berjuang dan bertahan, aku tak ingin menyerah untuk tetap tegar. Aku tak bisa membayangkan di hari-hari yang kulalui selanjutnya, tak ada lagi kamu yang menguatkanku.
Dalam dinginnya malam dan bau tanah basah yang selalu membuatku jatuh cinta. Tapi tidak untuk saat itu, ketika dinginnya malam hanya lipatan tanganku yang sedikit menghangatkan tubuhku. Dulu biasanya kamu selalu menyuruhku memeluk tubuhmu. Tapi saat itu hanya lipatan tanganku yang merengkuh tubuhku sendiri. Di sepanjang jalan kita hanya memilih diam dan kamu hanya sibuk memperhatikan jalan. Aku hanya bisa memperhatikan wajahmu dari kaca spion. Memperhatikan sosokmu dari belakang. Terlalu banyak kenangan kali ini. Rasanya ingin pergi dan melupakan segalanya. Akhirnya, kamu membuka suara, bertanya mau kemana kita sekarang. Aku hanya jawab seperlunya, mengarahkan jalan, menunjuk ke arah warung kecil di pinggir jalan. Di tempat itu biasanya kita menikmati malam sambil makan bubur kacang hijau yang hangat. Membicarakan tentang kamu dan aku, selalu ku dengar tawa renyah dari mulutmu. Dan aku menyukai saat-saat seperti itu. Kenapa aku melihat kamu bukan lagi seperti sosok yang ku kenal dulu. Tatapan mata itu tak lagi teduh seperti dulu. Ah sudahlah aku bosan mendengar kata dulu. Tapi entah kenapa kenangan dulu selalu saja menarik untuk dibahas. Walaupun setiap aku mengingatnya ada pilu yang begitu dalam.
Percakapan kita dimulai ketika aku bertanya kenapa kita bisa menjauh seperti ini. Kenapa kamu lebih memilih kembali bersama wanita itu. Dan memutuskan untuk menghentikan perjuanganmu untuk kembali padaku. Sebenarnya aku tak ingin memulai pembicaraan yang hampir membuatku meneteskan air mata. Tapi aku terlalu penasaran. Apa yang membuatmu lebih memilih dia daripada aku. Kamu mulai membuka suara, bercerita apa yang sebenarnya terjadi. Dengan suara lirihmu kamu terus berbicara, hingga kamu tak memperhatikan raut wajahku yang telah berubah. Mataku mulai merah, ada bendungan air mata yang tak bisa tertahan lagi. Hingga akhirnya air mataku jatuh. Cukup! aku tak kuat kamu melanjutkan mulutmu mengeluarkan namanya. Aku tak kuat ketika kamu bilang bahwa ada sesuatu yang membuatmu tak bisa pergi darinya. Ada sesak dalam dada yang membuatku kehabisan kata. Sungguh aku tak pernah mengerti dengan semua itu. Dengan drama yang kamu buat yang akhirnya aku sebagai salah satu yang tersakiti. Saat itu aku ingin sekali menamparmu, mengeluarkan kata-kata dengan semua penghuni yang ada di kebun binatang. Tapi sungguh aku tak mampu melakukan itu, memperlakukan kasar pria yang begitu sangat kucintai. Seketika tubuhku lemas, aku ingin cepat pulang merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Dan bercakap dengan Tuhan, kenapa kisah ini begitu kejam.
Ketika melihatku menangis, kamu menghapus air mataku dengan jemarimu. Menggenggam tanganku sambil meminta maaf. Kenapa bisa-bisanya kamu melakukan itu ketika kamu sudah menghancurkan segalanya. Ini hanya membuatku semakin berat melupakanmu. Ah aku muak dengan semua itu! Hari sudah semakin malam, ketika kamu mengajakku pulang, dengan langkah gontai aku berdiri. Aku tak kuat lagi. Kepalaku pusing, mungkin karna terlalu lelah atau karna menangis sampai sesenggukan. Rintik gerimis di kepala kita berdua. Ah langit sepertinya merasakan apa yang aku rasakan, hingga dia menurunkan gerimis. Untung saja gerimis turun, sehingga air mataku yang terus menerus jatuh tersamarkan olehnya. Di sepanjang jalan aku hanya menangis sesenggukan. Seketika terlintas dalam benakku untuk meminta satu permintaan terakhir. Aku ingin memelukmu bersandar di pundakmu. Dan kamu hanya mengangguk mengiyakan. Sungguh aku tak peduli dengan mata orang orang yang tertuju pada kita. Aku tak peduli dengan gerimis yang semakin lebat. Tak peduli dengan dinginnya malam yang semakin menusuk tulang. Aku hanya ingin waktuku berhenti disini, saat aku memelukmu erat, ketika kepalaku bersandar di pundakmu, tempat ternyaman bagiku saat cinta selalu saja membuatku menangis. Hingga aku merasakan ada jemari yang begitu dingin merengkuh tanganku. Aku bisa merasakan eratnya genggaman tanganmu, entah hanya karna ingin menguatkanku atau tak ingin melepasku pergi. Entahlah, hanya kamu yang tahu arti dari semua itu. Yang jelas, aku hanya ingin berlama-lama seperti saat itu.
Kepalaku semakin berat, mataku semakin perih hingga aku tertidur di pundakmu. Dan samar-samar hanya ada dengunan sepeda motormu yang terdengar di telinga. Ketika sampai di ujung gang rumahku, kamu menyentuh pipiku membangunkanku dengan sangat hati- hati. Kenapa kamu tak mengantarkanku sampai depan rumah? Bukankah dulu kamu selalu ingin mengantarku sampai depan rumah dan melihatku sampai masuk ke dalam rumah? Dengan mata yang begitu sembab dan wajah yang kusut, aku turun dari sepeda motormu. Wajahmu yang begitu khawatir, matamu menatapku pilu, aku percaya kamu tak ingin melepasku secepat ini. Kamu memintaku memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Benarkah untuk yang terakhir? Ini seperti mimpi buruk buatku. "Jaga dirimu baik-baik, aku minta maaf", katamu. Aku hanya bisa tersenyum miris. Tenanglah aku pasti akan baik-baik saja, kamu pernah bilang bukan? bahwa aku wanita kuat aku wanita yang paling tegar aku wanita yang paling sabar. Hingga sampai pada titik yang paling lelah untuk berjuang dan bertahan, aku tak ingin menyerah untuk tetap tegar. Aku tak bisa membayangkan di hari-hari yang kulalui selanjutnya, tak ada lagi kamu yang menguatkanku.
Dengan langkah gontai aku melangkah semakin jauh. Semakin sesak juga dada ini. Menatapmu semakin jauh dan jauh. Hingga aku mendengar kamu menyalakan motor lalu pergi. Aku kembali melihat kebelakang, menemukanmu sudah tak ada lagi di sana. Pergilah, menjauhlah. Aku ingin dekat- dekat dengan kesepian saja saat ini. Di sana mungkin lukaku terobati. Dan tak ada lagi kamu yang menggoreskan luka sedalam ini. Tuhan, haruskah ada sakit agar kita tahu rasa bahagia? Haruskah dalam cinta selalu ada salah satu yang tersakiti? Jika aku boleh meminta padaMu Tuhan, aku tak ingin mendengar suaranya ketika pertama kali menyebutkan nama, aku tak ingin menolehnya ketika dia datang, aku tak ingin melukiskan segala kenangan manis bersamanya. Sungguh aku ingin menghapuskan semua yang berhubungan tentangnya. Ah sudahlah yang aku inginkan saat ituhanya ingin tertidur lelap. Dan berharap ketika terbangun, aku lupa kejadian malam yang menyesakkan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar